Orang Bali Indonesia
Menyuguhkan Sesuatu yang Beda
Begitu Anda menginjakkan kaki ke Pulau Dewata, pasti akan terasa sesuatu hal yang berbeda dan unik. Hal ini karena ada begitu banyak ciri khas yang membedakan Bali dengan daerah lainnya. Salah satunya ada sapi Bali.
Dilansir dari laman Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, sapi Bali merupakan sapi asli dan murni Indonesia, merupakan keturunan asli banteng (Bibos banteng). Salah satu ciri yang paling mudah diamati yakni bentuk badan yang kompak padat, sintal, dan tidak berpunuk. Warna bulu badan sapi betina dan pedet atau godel jantan maupun betina berwarna merah bata. Sedangkan sapi jantan berwarna hitam.
"Itu kan sudah keistimewaan. Sapi Bali itu sapi unik, kemudian ada jalak Bali, hanya Bali yang punya. Nah itulah keunikan-keunikan bali, jadi yang membuat orang senang kembali menikmati Bali itu karena keunikannya. Ditambah mungkin juga senyum orang Bali beda dengan orang Jawa, Bandung, atau Surabaya," ceritanya sambil tertawa kecil.
Masyarakat Bali Bisa Bahasa Inggris
Mengingat Bali yang selalu menjadi destinasi wisata, membuat mayoritas warganya pun jadi bisa berbahasa inggris. Meskipun mungkin tidak terlalu fasih, namun bisa dikatakan para turis mancanegara nyambung saat berbicara dengan penduduk setempat. Mereka belajar bahasa Inggris secara otodidak karena tuntutan pariwisata yang berkaitan dengan sumber perekonomian mereka.
Setiap Budaya punya Arti
Setiap budaya masyarakat Bali itu lekat dengan seni instalasi. Sebutlah beberapa bangunan yang identik dengan budaya Bali, seolah memang terlahir untuk seni instalasi. Uniknya, setiap budaya menyimpan arti masing-masing. Salah satunya sesaji yang diletakkan di berbagai tempat.
"Ada banyak pengertian dalam budaya menaruh sesaji. Biasanya karena orang Bali punya tradisi dari dulu yang hingga sekarang masih berlanjut. Salah satunya ialah sesudah menanak nasi, mereka menghaturkan sesaji dari nasi yang ditanak untuk dibawa keliling rumah. Taruh di depan rumah, samping dapur, samping saluran air, hal ini sebagai tanda terima kasih," ujar Gde Aryantha.
Sudah menjadi tradisi orang Bali usai memasak nasi, sebelum makan mereka akan menghaturkan sesaji dulu keliling rumah. Sesaji yang dimasak itu menggunakan daun, baru kemudian sesaji dimakan.
"Setelah mereka makan malam, makan siang, sudah tidak lagi berdoa di meja makan. Sebab orang Bali sejak zaman dahulu tidak biasa makan di meja, mereka terbiasa jongkok. Orang modern baru makan di meja," cerita Gde Aryantha.
Punya Ciri Khas pada Kediamannya
Jika mungkin ada pendapat bahwa orang Bali sampai menyiapkan kamar kosong untuk tamu menginap, hal ini dibantah oleh Gde Aryantha. Ia mengatakan bahwa orang Bali justru tidak punya kamar atau ruang tersendiri untuk tamu.
"Kalau melihat rumah-rumah orang Bali di Desa, tradisi yang asli tidak ada ruang tamunya. Jadi kalau datang ke tempat saya, kampung halaman saya yang masih tradisi Bali, penataan pekarangan ya tidak ada ruang tamu," ungkapnya.
Hal ini justru jadi ciri khas yang lagi-lagi menjadi keunikan. Sekarang, beberapa rumah sudah mengusung tema modern sehingga sudah lebih ditata. Disampaikan oleh Gde Aryantha, bahwa sebetulnya tidak adanya ruang untuk tamu juga ditemukan di beberapa rumah adat salah satunya Joglo.
"Bisa mengkaji arsitektur Bali. Arsitektur Bali tidak mengenal ruang untuk tamu, kamar tamu pun enggak ada. Jadi tamu diterima tapi di halaman, di bangunan yang sudah ada, di depan dapur, dan yang lainnya. Tidak ada khusus ruang tamu untuk menerima tamu," kuaknya.
Memegang Kuat Tradisi
Tak dipungkiri, Bali yang dikunjungi oleh banyak pendatang membuat Pulau Dewata mudah terpapar tradisi luar. Salah satunya modernisasi pada arsitektur rumah, keberadaan ruang tamu merupakan adaptasi dari peradaban Barat.
Kebiasaan makan pakai sendok juga merupakan adaptasi dari budaya penjajah, sebab diterangkan oleh Gde Aryantha bahwa orang Bali sejak dulu makan dengan posisi jongkok dengan meja yang rendah. Hal ini merupakan keunikan sebuah tradisi yang masih ada hingga sekarang namun tak banyak lagi dilakukan.
"Jadi Bali itu disukai di dunia karena unik dan otentik, tidak ada di dunia. Itu selalu saya bilang di buku-buku saya. Dalam kehidupan modern, orang Bali jelas ada yang terbawa pengaruh Barat. Tapi semua tergantung pola pikir, sehingga bisa membedakan mana yang sekiranya mampu memajukan peradaban," ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa orang Bali itu kuat dengan tradisi, hal inilah yang menjadi benteng. Sehingga meskipun ada budaya Barat yang masuk, tetap orang Bali mampu menjaga tradisinya.
"Misalnya kesenian Barong, itu kan ada barongsai. Ornamen-ornamen ukiran-ukiran itu kan pengaruh cina, pengaruh mesir ada juga. Tapi kehebatannya orang Bali sebagai makhluk seni, yang mereka terima itu mereka create menjadi suatu yang baru. Sehingga ketika mereka masuk ke ranah tradisi, mereka jadi disiplin, jadi baik. Itu juga suatu yang unik, bagaimana pengaruh luar tidak sampai masuk ke jantung, ke intinya. Cuma di permukaan saja," pungkas Gde Aryantha.
Dewa Tertinggi Orang Hindu Bali
semakin banyaknya film Itihasa dan purana dipertontonkan di indonesia, menyebabkan kebingungan beberapa umat hindu bali yang sedang "mencari jati diri" dan mencari pembenaran atas keyakinannya. kejadian ini menjadi semakin goyangnya keyakinan gama tirtha dibali, karena beberapa umat tersebut mulai mengesampingkan ajaran dari mpu kuturan, yang telah berjuang mempersatukan sekte/sampradaya yang dulunya banyak berkembang di Bali.
bila dipikir kembali, mungkinkah umat hindu bali kembali mundur pemahaman agama hindunya?
dari mendalami ajaran universal hindu melompat mundur mempelajari sekte-sekte yang diidolakan. bukankah sekte tersebut bagian dari hindu? inilah yang aneh bin ajaib yang terjadi dibali.
orang-orang beramai-ramai memuja dewa-dewanya, dan mengesampingkan local-genius yang sudah mengakar sebagai konsep hindu yang universal.
dengan memuja satu dewa tertinggi dan menggapnya sebagai tuhan, bukankah itu sudah menyalahi dasar keimanan hindu sendiri?
mohon diingat, bahwa pokok-pokok keimanan hindu adalah percaya dengan adanya Tuhan, Atma, Karmaphala, Punarbhawa, dan Moksa.
sudah jelas yang tertinggi itu TUHAN bukan DEWA... entah apapun nama dewanya, entah disebut dewata... semua itu masih ciptaan Tuhan, semua itu
yang sama-sama memperjuangkan kebaikan menurut versinya masing-masing.
selama masih ada dalam lingkup hukum karma, tidaklah wajar kalau kita menyambah satu dewa tertinggi dan menganggapnya tuhan.
bila ada pernyataan yang mengatakan, beliau adalah sinar suci tuhan, yang memberikan pemahaman agama dan bla bla bla... mohon diingat, sinar suci beliau memang dewa, TETAPI bukan pada satu dewa saja... mungkin semeton hindu LUPA, kalau TUHAN menciptakan ATMA dan KARMA untuk kita... sinar suci TUHAN tersebut bukankah disesuaikan dengan fungsinya masing-masing (manifestasi), kalau begitu, mungkinkah ada sinar besar (utama) dan senar yang kecil?
mari pahami bersama.... Dewa itu diciptakan berdasarkan fungsi pokoknya...
kenapa? karena beliau itu sebenarnya hanya satu saja... orang bijak yang menyebutnya dengan banyak nama, lupakah semeton dengan hal itu..?
karena, DEWA merupakan sinar suci berdasarkan fungsi, hendaknya semeton sama menyembah/memujanya untuk memperoleh apa tujuan utama hidup anda semua.
kenapa harus demikian?
apakah salah jika, misalnya: saya suka krisna karena beliau menurunkan bhagawadgita.. atau saya pemuja siwa karena dibali aliran terbesar adalah siwasidhanta?
tujuan agama hindu adalah "moksatam jagathita ya ca iti dharma"
arti kasarnya adalah..
moksa merupakan tujuan agama tertinggi, tetapi saat ini carilah kebahagiaan hidup (jagathita), penuhilah kewajibanmu, bahagiakan orang-orang yang kamu cintai tetapi semua itu harus berdasarkan dharma.
lo, bagaimana caranya?
banyak cara, bisa dilihat dari sisi Catur Asrama yang diselaraskan dengan Catur Purusa Artha dan Catur warna yang diselaraskan dengan Catur Purusa Artha.
Sifat dan Kebiasaan Orang Bali
Keindahan Alam yang 'Nyeni'
Bicara soal keindahan alam, sudah tak diragukan lagi. Bali memang selalu jadi tujuan berwisata. Mulai dari pantainya, beberapa bangunan yang kental dengan budaya Bali, hingga wisata kulinernya. Seolah tak ada habisnya membicarakan keindahan Bali, bahkan keindahan daerahnya pun menyimpan seni.
Lihat saja keberadaan Pura dan bagaimana penduduk setempat menjalani hidup dengan sajian alamnya. Seolah mereka saling berintegrasi, antara keindahan alam, kebudayaan, dan cara mereka menjalani hidup.
"Sesuatu yang mampu membuat turis kembali datang ke Bali itu tak melulu keindahannya. Tapi tradisinya, kebiasaannya, kebudayaan mereka itu sudah kesenian. Orang Bali saban hari itu berkesenian. Menurut saya orang yang paling hidup dengan kesenian itu hanya orang Bali. Jangan dilawan deh orang Bali," ujar Gde Aryantha sembari tertawa.
Ada Akulturasi Budaya dan Agama
Desa Pegayaman adalah desa dengan mayoritas penduduk beragama Islam, di tengah lingkungan masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu. Dalam buku Bali Menggugat oleh Putu Setia, diceritakan bahwa mereka tetap mempertahankan tradisi Bali. Mereka juga tetap menggunakan nama-nama asli Bali seperti Wayan, Nengah, Ketut, Made, sebagai nama khas orang Bali sesuai urut kelahiran.
Salah satu budaya yang masih dipertahankan yakni Ngejot, membawa makanan ke tetangga sebagai sarana silaturahmi. Hal ini dilakukan pada bulan-bulan puasa. Penduduk setempat masih memegang teguh tradisi Bali selama tidak melanggar keyakinan beragama, terlebih jika itu berbagi dengan orang lain.
Selain itu ada pula tradisi Muludan sebagai perayaan lahirnya Nabi Muhammad, warga Pegayaman mulai membuat ogoh-ogoh (patung raksasa yang biasa dipakai umat Hindu dalam menyambut Hari Raya Nyepi) yang kemudian diarak warga.
Nah detikers, itulah tadi penjelasan lengkap mengenai kebiasaan orang Bali yang jadi ciri khas dan daya tarik bagi para wisatawan. Sungguh unik dan membanggakan ya? Kini tak heran mengapa Bali selalu jadi primadona dalam wisata.
Ramah dengan Pendatang
Orang Bali punya kultur yang selalu ramah dan terbuka dengan kehadiran pendatang. Sebetulnya, kebanyakan orang Indonesia memang punya cara sendiri menyambut tamu, yakni dengan beramah tamah. Sambutan hangat tak hanya jadi kultur bagi orang Bali, namun juga penduduk Jawa Tengah, Yogyakarta, Bandung, dan beberapa kota lain pun memang berusaha welcome dengan pendatang.
Hal tersebut dibenarkan oleh Gde Aryantha Soethama saat dihubungi detikcom, Selasa (26/10/2022). Seniman, sastrawan, sekaligus penulis buku asal Bali ini menjelaskan bahwa kebanyakan orang Indonesia disebut 'gampang guyub'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Orang Indonesia dan orang-orang Timur itu gampang guyub. Kita punya kebiasaan atau culture yang suka dengan kebersamaan. Sementara di Bali, terdapat keunikan dan keotentikan dari culture 'guyub' itu. Inilah yang membuat pendatang betah," jelasnya.
Sering kita melihat rutinitas para penduduk ibu kota, saat jenuh mereka memilih untuk refreshing sejenak ke Bali atau bahkan membawa pekerjaannya sembari healing di Bali. Pulau Dewata terasa begitu menenangkan dan menyimpan kesan tersendiri bagi para pendatang.
"Pendatang bisa dari mana saja, mungkin turis mancanegara maupun domestik. Bagi para pelancong, orang Bali itu nampak hidupnya santai banget. Ini karena culture petani yang melekat di orang-orang Bali," jelas pria berusia 67 tahun tersebut.
Ia pun menjelaskan bahwa petani biasanya menghadapi musim tanam, ada jeda mereka untuk bersantai di tengah kerja yang berat. Saat orang-orang Bali bersantai, para pendatang jadi betah melihatnya, mereka merasa kehidupan orang Bali lebih santai.
"Banyak orang bilang, seperti orang-orang Jakarta katakan kalau hidup di Bali itu menyenangkan. Seperti libur terus, tidak sebising kerja di Jakarta. Memang culture Bali itu begitu, seperti culture petani," ujar Gde Aryantha.
Orang Indonesia terutama warga Bali punya beragam budaya yang unik dan menarik. Salah satunya yang paling mudah dijumpai yakni menaruh sesaji. Di berbagai tempat, kita bisa dengan mudahnya melihat keberadaan sesaji.
"Tradisi menaruh sesaji ini kan unik. Kalau orang luar lihat 'ngapain?' Di mana-mana ada sesaji. Ini sudah jadi ciri khas kehidupan orang Bali sehari-hari yang lekat dengan kesenian. Misalnya usai memasak, mereka menghaturkan sesaji. Kemudian ada hari-hari lain, seperti adanya hari raya di Bali," terangnya.
"Orang Bali itu memang manusianya seni, hidupnya seni, sehingga lekat dengan kesenian. Kesenian itu banyak mengandung entertainment, makanya orang betah. Ibarat jika mereka ingin cari hiburan, maka datang ke Bali saja, tidak perlu menonton seni pertunjukan khusus," imbuhnya.
Hidup orang Bali memang selalu lekat dengan kesenian. Menghaturkan sesaji, upacara di Pura, Ngaben, setiap lini kehidupannya sudah identik dengan seni. Hal ini jadi daya tarik atau hiburan bagi pendatang.